#
WILUJEUNG SUMPING DI SITUS ABDI

Kamis, 19 November 2009

"Mirong (Di Tepian Zaman)"

Perubahan dirasakan oleh hampir semua manusia dalam masyarakat. Perubahan dalam masyarakat tersebut wajar, mengingat manusia memiliki kebutuhan yang tidak terbatas. Kita akan dapat melihat perubahan itu setelah membandingkan keadaan pada beberapa waktu lalu dengan keadaan sekarang. Perubahan itu dapat terjadi di berbagai aspek kehidupan, seperti peralatan dan perlengkapan hidup, mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, religi/keyakinan, tidak terkecuali makanan.

Perubahan telah merambah ke seluruh nusantara, baik kota maupun pelosok-pelosok pedesaan. Salah satu yang terkena dampak tersebut adalah jenis-jenis makanan daerah (makanan tradisional). Mari sejenak kita tengok ke belakang nan jauh disana. Di pinggiran kali Cisanggarung ada sebuah makanan khas, yang bisa dibilang makanan sehari-hari sebagai lauk pauk untuk makan. Sebut saja "mirong", makanan yang terbuat dari ikan asin yang dilapisi tepung. Bentuknya kurang lebih hampir mirip dengan rempeyek. Berbagai sumber mengatakan, makanan ini sudah ada sejak jaman penjajahan belanda dulu. "Mirong" merupakan warisan, sebagai salah satu produk budaya ”karuhun” (nenek moyang) kita.


Perubahan zaman banyak melahirkan hal-hal baru. Salah satunya Plasa-plasa, Mall-mall dan Spermarket-supermarket masuk kampung, yang menyajikan makanan-makanan produk luar. Pizza, kebab, burger, dll. Tentunya perubahan ini sedikit banyak berdampak bagi perkembangan makanan tradisional, khususnya "Mirong". Penulis berharap produk-produk luar tersebut tidak sampai menjajah produk dalam negeri khususnya makanan tradisonal. Akan kah ”Mirong” juga tergerus perubahan zaman?? Apakah anak cucu kita nanti masih mengenal ”Mirong”??
Kita tunggu perkembangan kedepannya nanti...

Sebagai bangsa yang bermatabat kita harus mencintai produk dalam negri sendiri.
Jangan sampai membuat makanan khas daerah kita semakin dilupakan, ayoo selamatkan makanan warisan ini!!! Selamatkan warisan budya kita!!! Ini adalah tugas dan tanggungjawab kita sebagai generasi penerus bangsa. Tugas utama yang harus dibenahi adalah bagaimana mempertahankan, melestarikan, menjaga, serta mewarisi budaya lokal dengan sebaik-baiknya agar dapat memperkokoh budaya bangsa yang akan megharumkan nama Indonesia. Dan juga supaya budaya asli negara kita tidak diklaim oleg negara lain. Wariskanlah budaya kita ke anak cucu...

Mari Kita Renungkan Bersama...

by : Cah Kangkung


Baca Saterasna...

Jumat, 06 November 2009

"Flying"

Rabu (21/10/09), merupakan pengalaman pertama kali menginjakan kaki di pulau sebrang (Batam Island) dan pertama pula naik pesawat terbang hehehehe... maklum lah anak kampung. Waktu kecil impian itu cuma hanya khayalan belaka, eh ta taunya itu bakal terwujud "terima kasih ya Allah, Engkau telah wujudkan impian ku".

Rombongan kami berangkat dari bandara internasional Soekarno Hatta pada pkl 10.00 wib, kurang lebih 9 orang dan tiba di Batam pada pkl 11.30-an kira-kira menempuh waktu1,5 jam perjalanan. Sesampai di bandar udara Hang Nadim kami di jemput oleh mobil dari salah satu hotel yang ada di batam. Sesampainya di tempat, tibalah saatnya untuk istirahat...

Keesokan harinya, pada pkl 07.00 sibuk mempersiapkan acara, kebetulan sy menjadi salah satu anggota tim panitia seminar yang diadakan setiap setahun sekali. Waktu terus berjalan hingga akhirnya selesai jga acaranya, alhamdulilah semuanya lancar...

Jumat pagi, saatnya kita pulang... singkat kata singkat cerita alhamdulilah pada pkl 04 sore sudah tiba lagi di jakarta. Jakarta oh jakarta, I'm coming.... Sekian dulu ah ceritanya, daaaaaaaahhhhh...
Baca Saterasna...

Kamis, 01 Oktober 2009

"X-TOBALL FC"

Hari kamis (24/09/09), terjadi pertandingan persahabatn antara X-toball FC vs bajarharjo fc. Pertandingan dimulai sekitar pukul 04.00 sore yang dipimpin oleh seorang wasit, yang kebetulan orang cikakak sendiri. Dalam pertandingan ini X-toball FC sebagai tuan rumah tidak mengecewakan penonton, klub tersebut menang 1-0 lewat gol yang diciptakan oleh salah satu pemain depan (cunglai, NP). X-toball FC tidak diperkuat salah satu pemain andalan mereka yang juga biasanya menjadi kapten tim (abenk, NP). Pemain tersebut berhalang hadir karena kesibukannya bekerja di IBu Kota (Jakarta) yang menuntutnya kembali masuk kerja pada tgl 24/09/09 pas bertepatan dengan pertandingan ini digelar.

Pada hari senin, 28/09/09 X-toball FC kembali bertanding dengan salah satu klub desa tetangga, beber fc namanya. Kali ini pertandingan diadakan di kandang lawan, alias jadi tamu pertandingan. Dalam pertandingan ini tercipta gol 1-1. Dari pihak X-toball FC gol tercipta dari kelihayan kaki pemain sayap depan (Panjul, NP). Menururt salah satu sumber menyebutkan bahwa gol yang tercipta oleh beber fc seharusnya dianulir karena pemain beber fc berada dalam posisi offside, namun berhubung tidak terlihat wasit jadilah gol yang sah. Para suporter dari X-toball FC merasa kecewa dengan keputusan wasit tersebut, tapi apalah daya keputusan wasit adalah mutlak dan tidak dapat di ganggu gugat. Baik pemain maupun suporter pulang dengan agak sedik kecewa akibat keputusan wasit yang dinilainya berat sebelah. Namun klub X-toball FC perlu berbangga hati karena timnya bisa menang di kandang lawan.

Salute buat para pemain dan suporter X-Toball FC, maju terus dan tetap semangat......

Penulis hanya bisa berpesan jaga nama baik X-toball FC karena selain kita siapa lagi yang bisa menjaganya, hanya dipundak kitalah tempat berpijak dan majunya klub kita ini. X-toball bukan hanya sebuah klub sepak bola tapi juga merupakan wadah berkumpulnya para pemuda yang tinggal di blok stobal (blok sinyur). Pembentukan X-toball bukan berarti ingin memisahkan diri dari organisasi kepemudaan desa cikakak (pusat), tapi merupakan wadah yang hanya menampung kreatifitas para pemuda di blok kami dengan tujuan kearah yang positif, serta bisa saling memajukan dan saling mepererat tali persaudaraan sesama warga cikakak khususnya para pemuda-pemudinya. Alhamdulilah berkat pembentukan X-toball ini para pemuda kami bisa lebih teratur dan bisa lebih produktif, salah satu nya adalah dengan beberapa kali menjuarai kegiatan olah raga serta lomba karnaval 17-an. Saya sebagai salah seorang pendiri X-toball merasa bangga, dan akan terus mendukung kegiatan yang positif baik itu keolahragaan maupun kegiatan lainnya (positif).

So tetap semangat dan teruskan perjuangan, BRAVO X-TOBALL.......

* Note : NP = Nama Pangilan

by : Cah Kangkung



Baca Saterasna...

Kamis, 17 September 2009

"MINAL AIDIN WAL FAIDZIN"

Ketika bumi menjadi bayang-bayang surga, kedamaian dirasakan oleh semua orang yang memiliki kebersihan jiwa dan kebeningan hati. Ketika meminta maaf dan saling memaafkan tulus berasal dari kalbu iklhas.
Semoga fitri ini tetap terjaga sampai Ramadhan tahun depan.

Seiring takbir, tahlil dan tahmid menggema, izinkan kedua tangan
bersimpuh memohon maaf. Selamat Idul Fitri. Mohon maaf lahir batin.

Ya Allah, Berkahilah hamba-hamba-Mu ini. Limpahkan rizkimu pada kita semua.
Bahagiakanlah kami dan keluarga kami semua. Mudahkanlah semua urusannya.
Terimalah ibadahnya. Amien.

Seruan Takbir mengiringi berlalu bln penuh Berkah & Ampunan Kita pun kembal Fitri.
Tp Dosa & Khilaf hanya bisa terhapus dengan Maaf.

Keluarga Besar Bapak Rohman & Ibu Wasri Mengucapkam Selamat Hari Raya Idul Fitri

MINAL AIDIN WAL FAIDZIN MOHON MAAF LAHIR BATIN


Baca Saterasna...

Jumat, 21 Agustus 2009

"Marhaban Ya Romadhan"

Sebentar lagi bulan yang ditunggu-tunggu oleh Umat Islam di seluruh dunia akan tiba, kita tinggal menunggu detik-detik kedatangannya. Bulan puasa merupakan bulan yang penuh berkah, bulan yang cocok untuk mempertebal keimanan kita kepda Allah SWT.

Romadhan adalah bulan kesembilan dalam penanggalan Hijriyah (sitem penanggalan agama Islam). Sepanjang bulan ini seluruh pemeluk agama Islam melakukan serangkaian kegiatan keagamaan termasuk di dalamnya berpuasa, sahal tarawih, peringatan turunnya Al Qur'an, mencari malam Laylatul Qadar, memperbanyak membaca Al Qur'an dan kemudian mengakhirinya dengan membayar zakat fitrah dan rangkaian perayaan Idul Fitri.

Hari ini, Jum'at 21 Agustus 2009 merupakan hari penyambutan datangnya bulan suci, munggahan namanya. Sudah 5 (lima) ini tidak pernah merasakan munggahan bersama orang-orang tercinta di kampung halaman sana. Apalagi orang-orang yang dicintai sekarang lagi sakit, Bunda dan Kakek ku. Ma'agnya Bunda kambuh lagi, mungkin karena kecapean, kurang istirahat dan telat makan. Sepuluh hari sekali beliau mesti ke dokter untuk sekedar dicek dan diperiksa kesehatan, rawat jalan lah istilahnya.

Sedangkan kakekku kurang lebih sudah 2 (dua) tahunan terkena serangan struk, sehingga beliau hanya bisa diam dan tidur di pembaringan tidak bisa kemana-mana. Semalam (kamis, 20 Agustus 2009) aku telepon ke kampung, katanya kakek sakitnya sudah parah dan sudah dua hari ini sudah "pangajikeun" kata orang sunda bilang mah. Buru-buru aku ambil air wudhu untuk sholat terus membacakan surat yasin buat kesembuhan bunda dan kakek. Saat membacakan surat yasin, tak terasa air mata mengalir di pipi. Ya Allah semoga bunda dan kakekku cepat disembuhkan dan di berikan kekuatan.....Ya Allah Ampunilah semua kesalaha dan dosa-dosa beliau, permudahlah semuanya, semoga tidak terjadi apa-apa, semoga semuanya baik-baik saja.....amin...... Itulah doa yang sempat terlintas dalam hatiku.

Ya Allah semoga di bulan yang penuh berkah ini semuanya bisa kembali seperti semula, semoga semuanya baik-baik saja. Kami ingin menjalankan salah satu perintah-Mu serta kewajiban sebagai seorang muslim, menjalankan ibadah puasa di bulan ramadhan. Ingin Pulang rasa, rindu banget sama mereka, ingin kumpul dan bersama-sama mereka. Bunda, kakek maafkan diriku tidak bisa mendampingimu, aku hanya bisa mendo'akan buat kesembuhan kalian.

Ya Allah sekali lagi aku memohon kepada-Mu, semoga di bulan yang penuh berkah ini kami sekeluarga selalu ada dalam lindungan-Mu Ya Allah, Amin.....Amin....Ya Robalallamin......

Marhaban Ya Ramadhan, Mohon Maaf Lahir dan Batin, Semoga Amal Ibadah Kita diterima Allah SWT dan diampuni segala kesalahan dan dosa-dosa kita. Kami segenap keluarga Bapak Rohman dan Ibu Wasri mengucapkan "Selamat Menunai Ibadah Puasa"

by : Cah Kangkung


*"pangajikeun" (dibacakan surat-surat dalam Al Qur'an)
Baca Saterasna...

Jumat, 14 Agustus 2009

"17 Agustus Hari Kemerdekaan Kita"

Tanggal 17 tingal menghitung hari, hari yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia. Hari dimana bangsa Indonesia dilahirkan. Dari pelosok hingga kota-kota besar, pada tanggal 17 Agustus warga masyarakat berantusias mengikuti upacara bendera sebagai penghormatan kepada para Pahlawan yang telah merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Kami sebagai Bangsa Indonesia bangga mempunyai pahlawan-pahlawan yang berani mempertaruhkan segenap jiwa raganya demi lahirnya bangsa ini.


Menjelang detik-detik 17 Agustus biasanya di tiap-tiap desa, kota serentak secara nasional mengadakan kegiatan-kegiatan. Dari mulai keolahragaan, seni dan budaya, hiburan dan masih masih banyak kegiatan lainnya. Tujuan kegiatan-kegiatan tersebut pada dasarnya adalah untuk mempererat tali persaudaraan serta memupuk rasa nasionalisme dan patriotisme.


Kemeriahan 17-an ini mestinya dijadikan renungan bagi kita semua, betapa beratnya perjuangan para pahlawan kita. Sebagai anak muda kita wajib meneruskan amanah untuk tetap mempertahankan dan menjaga keutuhan bangsa indonesia. Hal ini merupakan tugas kita sebagai generasi penerus bangsa. Semoga lagu di bawah ini dapat menjadi pengobar semang atperjuangan kita semua..........MERDEKA.................


"Hari Merdeka / 17 Agustus 1945"

Tujuh belas agustus tahun empat lima
Itulah hari kemerdekaan kita
Hari merdeka nusa dan bangsa
Hari lahirnya bangsa Indonesia
Merdeka


Sekali merdeka tetap merdeka
Selama hayat masih di kandung badan
Kita tetap setia tetap setia
Mempertahankan Indonesia
Kita tetap setia tetap setia
Membela negara kita


Ciptaan : H. Mutahar

Baca Saterasna...

Jumat, 07 Agustus 2009

"Cah Kangkung"

by : Cah Kangkung

Sekitar jam 12.00 pas waktu makan siang aku berbincang dengan teman seprofesi, sebut saja boled (nama samaran).

"apa yah nama yang cocok untuk blog ku????"
tanyaku pada si boled.
"Apa yah, aku juga bingung nih!" jawab si boled.

Sejenak aku merenung, Secara tiba-tiba muncul satu nama yang tidak asing lagi, sebut saja "Cah Kangkung". Sebuah nama yang cukup mudah untuk diingat.

"Gimana klo namanya "Cah Kangkung"??" kataku seraya menatap si boled.
"Mengapa mengambil nama itu????
"Gini bro, Ada dua alasan mengapa "Cah Kangkung", pertama Cah=Bocah, Kangkung=jenis sayuran (sunda). Kedua, "Cah Kangkung" adalah suatu masakan yang artinya tumis kangkung (jawa). Masakan ini sangat merakyat disemua kalangan, dari bawah hingga kalangan elit."

"Berarti bocah kangkung atau bocah yang love tumis kangkung????"
"Mengapa aku ngambil nama itu yah??" kembali aku bingung mengapa memilihnya.

"Padahal aku sendiri ga suka tumis kangkung, malahan ga pernah makan sama sekali. Waktu aku SMA, dokter memvonisku terkena gejala ginjal, dan dokter melarang aku memakannya "pantangan" kata orang sunda bilang".

Sebelum aku divonis, kangkung merupakan salah satu makanan favoritku apalagi yang namanya "rujak kangkung" aku suka banget. Aku ngga mau memakannya lagi, takut kalo-kalo ginjalku kambuh, ntr siapa yang mengurusku disini (jakarta). Aku sendiri cuma ngekos di sebuah kos-kosn yang besarnya hanya seluas "kandang ayam". Orang kampung bilang yang penting bisa makan and tidur meskipun di "kandang ayam", hidup di jakarta mah hehehehehe..........

"Eh...malah ngelantur yah...ngomong kemana aja sampe ke kandang ayam segala, kita back to topic lagi yah"
"topik yang mana????" dasar si boled orangnya pelupa, baru beberapa menit diomongin eh sudah lupa.

"waduh pake nanya segala lagi nih, ya masalah nama "Cah Kangkung tadi bro"....
"ooooooooohhhhhh...............begono............"

"gino bro, skg aku mendapat kesimpulan.....kan kangkung merupakan makanan yang tidak asing lagi bagi sipapun dan sangat bermanfaat bagi kesehatan, jadi pada intinya kangkung sangat bermanfaat....qt mengambil filosofinya aja dari situ, gmn bro????
"bagus...bagus.....aku setuju!!" jawab siboled.
"Tapi ntr klo ada orang manggil kung....kung.....gmn, kan jelek???" tanya nya.
"Iya...ya....." jawabku singkat.
"Tapi ya sudahlah terserah apa kata orang, mau sebut apa ke, itu ke yang penting aku bisa bermanfaat bagi semua orang....yah seperti filosofi yang aku ambil tadi dari kangkung".

Tidak terasa satu jam sudah ngobrol ngalor-ngidul perbincangan antara dua pengembara dari ndeso di lereng "gunung tukung".
"eh...enywey...busway....dah masuk jam kerja lagi nih, ayo masuk lagi bro...." seraya mengajak si boled masuk.

"ayo.....ayo.....bro kita masuk"


"Sekian"

Note : Ini hanyalah karangan belaka, apabila ada kesamaan nama dan tokoh, saya mohon beribu-ribu maaf (wah lebay banget yah kaya di sinetron n di film2 aj hahahahahahahahaha........). Semoga ini dapat bermanfaat bagi siapa aj yang membacanya, khususnya bagi diri saya pribadi.




Baca Saterasna...

Rabu, 05 Agustus 2009

"Pasar Manis Kosambi"

by : Cah Kangkung

Pasar Manis Kosambi adalah sebuah pasar tradisional yang terletak di desa Cikakak, tepatnya berada di sebelah utara desa. Pasar ini berdiri sekitar tahun 2000-an ketika penulis masih SMA.

Menurut wikipedia indonesia pasar tradisional merupakan tempat bertemunya antara penjual dan pembeli secara langsung serta ditandai adanya transaksi jual-beli dan biasanya ada proses tawar-menawar, bangunan biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los dan dasaran terbuka yang di buka penjual maupun oleh para pengelola pasar.

Pasar Manis Kosambi diresmikan pada masa pemerintahan desa yang di pimpin oleh Bpk (Alm.) Siswo Waluyo yang merupakan kepala desa pendatang yang cukup berhasil memimpin desa Cikakak. Peresmian pasar tersebut di diramaikan dengan adanya hiburan masyarakat seperti jaipong dangdut, serta malamnya di adakan do'a bersama yang pimpin oleh pak lebe setempat. Acara kemudian dilanjutkan dengan hiburan masyarakat seperti acara sebelumnya (pada waktu siang hari). Masyarakat merasa cukup terhibur dengan adanya hiburan seperti itu, dan merasa bahagia karena desanya sekarang sudah mempunyai pasar. Para warga berharap banyak agar pasar tersebut bisa berfungsi secara baik sehingga tidak perlu jauh-jauh belanja ke pasar Banjarharjo yang berada di ibu kota kecamatan.

Pasar Manis Kosambi banyak menjual kebutuhan sehari-hari seperti bahan-bahan makanan berupa ikan, buah-buahan, sayur-sayuran, telur, daging, kain, pakaian, jasa, bahkan ada juga peralatan barang elekronik. Selain itu ada yang menjual kue-kue dan barang-barang lainnya.

Dari omong ke omong dalam perjalanannya Pasar Manis Kosambi tidak semulus yang dibayangkan. Banyak para pedagang yang bangkrut dan mengalami kejadian-kejadian yang aneh. Menurut mitos pasar tersebut banyak di huni makhluk halus, yang berasal dari "astana" yang jaraknya kurang lebih 100 meter-an. "Astana" dulunya merupakan kuburan belanda, yang sebagian orang percaya tempat tersebut dianggap "keramat". Semua ini hanyalah mitos, tentang kebenaranya hanya kepada pembaca percaya atau tidak. Wallahu'alam Bishawab...........

Namun, dibalik orang-orang yang mengalami kegagalan usaha di pasar tersebut, tidak sedikit pula yang mengalami kemujuran. Banyak para penjual yang bertahan sampai sekarang, malahan usahanya tambah maju. Ada satu pepatah orang tua mengatakan bahwa dalam usaha dagang, modal utamanya adalah kesabaran dan keuletan. Mungkin prinsip itu yang dipegang oleh para penjual yang sukses. Dibalik semua kejadian pasti ada hikmah, ambil yang baik dan tingggalkan yang buruk.

Sekian sekelumit tentang Pasar Manis Kosambi Desa Cikakak, semoga bisa bermanfaat dan dapat menambah wawasan kita semua, khususnya diri pribadi penulis...
Baca Saterasna...

Selasa, 04 Agustus 2009

"Telor Asin"

by : Cah Kangkung

Aku lahir di Brebes, salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Luas wilayahnya 1.657, 73 km2, jumlah penduduknya sekitar 1.767.000 jiwa (2003). Brebes terletak di bagian barat Provinsi Jawa Tengah, dan berbatsan langsung dengan Provinsi Jawa Barat.
Kenyataan bahwa penduduk Kabupaten Brebes bertutur dalam bahasa sunda, khususnya daerah Brebes bagian barat daya. Cikakak (kota kelahiranku) merupakan salah satu bagian daerah Brebes barat daya yang mayoritas penduduknya berbahasa sunda.

Di bidang agroindustri, Brebes mempunyai potensi hijauan ternak yang melimpahkan dan tersebar hampir di setiap kecamatan. Kondisi itu menjadikan Brebes berkembang berbagai usaha peternakan baik jenis ternak besar maupun kecil antara lain; ternak sapi kerbau, domba, kelinci rex, ayam petelur, ayam pototng dan itik. Telur hasil ternak itik diolah oleh masyarakat setempat menjadi produk telur asin yang popularitas atas kualitasnya sangat dikenal dan tidak diragukan. Banyak yang menyebut Brebes adalah Kota Telur Asin.

Telur asin adalah istilah umum masakan berbahan dasar telur yang diawetkan dengan cara diasinkan (diberikan garam berlebih untuk menonaktifkan enzim perombak). Kebanyakan telur yang diasinkan adalah telur itik, meski tidak menutup kemungkinan untuk telur-telur yang lain. Masa kadaluwarsa telur asin bisa mencapai satu bulan (30 hari)

Industri telur asin di Brebes cukup meluas hingga tersedia berbagai pilihan kualitas telur asin. Masing-masing produsen memiliki cap sendiri-sendiri yang biasanya dapat dilihat di kulit telur. Walaupun selera orang beda-beda telur asin yang dinilai berkualitas tinggi memiliki ciri-ciri bagian kuning telur berwarna jingga terang hingga kemerahan, kering (jika digigit tidak mengeluarkan cairan), tidak menimbulkan bau amis, dan rasa asin yang tidak menyengat.

Panganan ini bersifat praktis dan dapat dipadukan dengan berbagai masakan misalnya nasi jamblang, dan nasi lengko, bahkan dapat pula dimakan tanpa nasi.

Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat telur asin cukup mudah, bisa dari abu gosok, atau tanah yang dicampur garam dan air, beberapa pembuat telur asin menggunakan sekam yang dibakar, kemudian dibalutkan pada telur-telur yang mentah. Lalu telur yang dibalut "lumpur garam" itu didiamkan selama lebih dari satu minggu. Setelah lebih dari satu minggu, telur dibersihkan dari "lumpur" nya, lalu direbus. Jadi deh telur asin. Ada juga cara lain untuk membuat telur asin tanpa melaburnya dengan "abu gosok", tapi "direndam" dalam toples berisi air garam. Prosesnya sama kok "meresapkan" garam ke dalam telur.

Semua telur bisa dijadikan "telur asin" namun di Brbes telur yang dijadikan "telur asin" adalah telur bebek yang berwarna kehijauan. Alasannya karena telur bebek memiliki kuning telur yang lebih besar dan berwarna terang menarik. Selain dua cara di atas, ada sat cara yang dibilang unik yaitu dengan cara dipanggang. Telur jenis mempunyai kelebihan antara lain bau amin lebih rendah, tidak terlalu asin, kadar air rendah, awet, masir, dan rasanya lebih gurih. Bagi yang ingin mencoba datang saja langsung ke Brebes. Disana banyak berjejer toko-toko di pinggir jalan pantura yang menjual telur asin dari berbagai macam pilihan.

"Selamat Mencoba"
* dari berbagai sumber

Baca Saterasna...

"Mirong"

by : Cah Kangkung

Di sebuah desa (Cikakak) ada satu nama makanan yang sangat unik, yang mungkin bagi orang kota mah cukup aneh untuk didengar, sebut saja mirong. Sebuah nama yang entah lah apa artinya, yang sampe sekarang penulis pun tidak mendapat keterangan mengapa disebut mirong.


Mirong merupakan salah satu makanan khas bagi masyarakat di sekitar kali cisanggarung, tidak terkecuali masyarakat desa Cikakak. Mirong berbahan dasar ikan asin yang di lapisi tepung terigu dan diracik dengan bumbu2 masakan yang sangat apik, sehingga rasanyapun enak dan gurih. Bentuk makanan ini seperti rempeyek yang sudah dikenal oleh orang-orang di seluruh pelosok nusantara.


Bagi kebanyakan masyarakat desa Cikakak nama makanan ini tidak asing karena merupakan makanan favorit sebagai lauk dalam setiap santap makan. Dari salah seorang sumber menyebutkan bahwa "mengapa mirong menjadi makanan favorit adalah karena rasanya enak, dan gurih, mengandung protein tinggi, selain itu harganya pun dibilang sangat murah". Satu buah mirong dihargai Rp 250, 00. Harga tersebut sangat memungkinkan untuk dijangkau oleh semua kalangan dari bawah hingga kalangan orang elit, tidak sebanding dengan harga gorengan di jakarta yang harganya cukup mahal (Rp 500,00/buah).

Menurut sumber lain, menyebutkan bahwa mirong yang paling enak dan gurih di desa Cikakak adalah mirong Ibu Sri (nama panggilan). Keunggulan dari mirong Ibu Sri adalah rasanya renyah tidak keras, enak dan gurih, berprotein tinggi, berbahan ikan asin segar serta harganya yang tidak merogoh kocek dalam-dalam alias murah. Bagi yang ingin merasakan enak dan gurihnya mirong Ibu Sri silahkan datang aja ke Desa Cikakak, Kec. Banjarharjo, Kab. Brebes.

Mirong sangat cocok untuk makan bersama dengan dibarengi nasi timbel, lalab-lalaban, sambel terasi/goreng, serta minumannya air teh anget, waduuuuuuh enak banget deh rasanya...... Apalagi kalo makannya di sawah dengan suasana pemandangan alam yang sangat indah, lengkap sudah kenikmatan yang Allah SWT berikan, subhanallah........



Baca Saterasna...

"Panggil Aku Karto Saja"

by : Danto

Pesan singkat tadi pagi membuat Karto harus sedikit bekerja keras hari ini. Di samping mengerjakan rutinitas kantor, Karto kudu riset, mencari nama-nama bayi dari Timur Tengah, persisnya dari Persia.

Kus, kakak Karto, sehabis Subuh tadi pagi mengabarkan istrinya melahirkan anak kedua. Bayi laki-laki lumayan gembil, berat badan 3,4 kilogram. Kulit sawo matang, mata rada belo. Hidung lumayan bangir.

“Tolong carikan nama-nama yang bagus, To,” pesan singkat dari Kus mampir ke handphone Karto.

“Mau nama-nama bayi mana? Timur Tengah mau?” balas Karto. “Boleh,” timpal Kus.

Orang jaman sekarang saling menghias nama, yang indah-indah, bisa mewakili wibawanya, melebur dalam kesamaan. Tak mewakili kelas dan strata sosial seperti Jawa. Di jamanku, kata Karto, nama adalah kelas. Dengan memperhatikan nama, orang sudah bisa menebak dari kasta mana dia berasal.

Karto? Hmmmm. Nama Karto adalah produk feodalisme di Jawa. Lima huruf. Hanya lima huruf saja. Juga satu kata. Tak ada nama belakang. Atau nama marga.

Dari namanya saja, mudah ditebak. Dia berasal dari kasta rendah suku Jawa. Golongan abangan. Bukan dari golongan santri. Apalagi golongan priyayi Jawa. Sebab, jika masuk golongan santri, maka namanya akan sangat kental dengan bau-bau Islam. Muhammad Zikrullah, misalnya. Atau Ahmad Hamid Abdullah, umpamanya. Atau juga Abdul Syukur, atau Abdur Rohman, atau Abdul-Abdul yang lain.

Bukan pula dari golongan orang-orang ningrat atawa priyayi Jawa yang suka membanggakan namanya. Birokrat Jawa, suka memilih nama-nama keraton yang indah-indah sebagai hiasan. Juga untuk memberi kesan bisa mempengaruhi diri sendiri dan orang lain dengan wibawa dan keindahannya itu. Dengan demikian, akan bertambah juga wibawanya.

Juru tulis sebuah kantor karesidenan, ujar Pramoedya Ananta Toer, akan menamakan dirinya dengan kata Sastra. Bisa Sastra Diwirya, yang berarti juru tulis yang tegas. Atau Sastra Disastra, yang berarti kepala juru tulis dari juru tulis.

Priyayi pengairan suka memberi namanya dengan awalan Tirta. Maka Tirtanata akan berarti pejabat yang mengatur perairan. Atau Raden Ajeng, yang dengan namanya orang sudah bisa menebak bahwa dia adalah keturunan keraton Jawa. Berdarah biru.

“What is the name? Apalah arti sebuah nama?,” kata Karto, kepadaku suatu senja. Barangkali dia mengutip pernyataan terkenal dari pujangga Eropa itu: William Shakespeare. Karto memang kadang sok puitis. Sok meniru ucapan pujangga-pujangga besar. Tapi begitulah dia.

Pada senja kala di batas kota tua itu, kami terlibat obrolan ringan. Entah mengapa, menjelang gelap itu kami mengupas lepas soal nama. Entah apa mula kata kami bicara. Tiba-tiba nyangkrok ke soal nama. Karto punya alasan soal namanya yang pendek itu.

“Si mbok-ku yang memberi nama memang tak pernah tahu aku jadi seperti sekarang, seorang juru warta. Dulu, ketika aku lahir, si mbok tahunya aku bakal menjadi seperti orang-orang sedaerahku. Jadi petani, atau pedagang, atau merantau ke Jakarta berdagang asongan rokok, menjadi kuli macul, kemudian menikah, punya anak, jadi kakek-kakek, selanjutnya meninggal di usia tua,” Karto terhenti sejenak. Tangan kanannya mencabut sehelai rumput yang sedikit tertiup angin senja kota tua. Menarik nafas sebentar.

Karto melanjutkan. “Seperti tak ada harapan bahwa anaknya bisa mempunyai nasib berbeda dengan orang-orang sebangsanya di kampung, bangsa kaum buruh, bangsa kaum abangan. Si mbok-ku hanya bisa pasrah, tak berani menentang nasib. Seperti tak ada harapan bahwa jaman sekarang sudah berubah. Bahwa sekarang orang kecil juga bisa sederajat dengan orang-orang besar,” papar Karto, getir. “Melalui pendidikan,” tandasnya.

Aku sedikit terpaku mendengar penegasan di pengujung pemaparannya. “Seperti tak ada harapan bahwa anaknya bisa mempunyai nasib berbeda dengan orang-orang sebangsanya di kampung, bangsa kaum buruh, bangsa kaum abangan. Si mbok-ku hanya bisa pasrah, tak berani menentang nasib. Seperti tak ada harapan bahwa jaman sekarang sudah berubah. Bahwa orang kecil juga sekarang bisa sederajat dengan orang-orang besar, melalui pendidikan.”

Barangkali Karto kini sudah merasa bernasib lebih baik ketimbang teman-teman sebayanya, yang kini hanya mengasong di pinggir-pinggir jalan dan lampu merah Grogol, Jakarta Barat, pikirku. Mungkin juga Karto, yang kini memasuki separuh baya, sudah punya pikiran bahwa dia bernasib lebih bagus ketimbang teman-teman seusianya yang hanya menjadi kuli dan buruh bangunan, di salah satu sudut Jakarta. Yang mereka hanya menamatkan sekolah hingga Sekolah Dasar (SD). Atau mentok di Sekolah Menengah Pertama (SMP).

“Memang dasarnya apa sampai ketemu nama Karto?,” tanyaku, memberanikan diri, sore menjelang gelap itu. Karto agaknya sedikit tersinggung. Matanya sedikit memerah. Dia memang agak sensitif, dan kadang pemarah. Sisi lain tabiat Karto yang suka menyendiri.

“Buat apa kau tanya-tanya soal itu, mending kita bicara soal mereka-mereka yang selalu merasa terpanggil oleh iman, kemudian membantai kaum lainnya demi Sang Maha Penguasa. Menjadi laskar pembela kebenaran. Itu lebih menarik,” Karto berusaha mengalihkan pembicaraan.

Aku sedikit merengut. Dan Karto tahu, jika sudah berubah roman mukaku sedikit saja, itu tandanya aku minta pembicaraan semula diteruskan. Kami sudah sedemikian dekat, sehingga tahu hal remeh temeh sekalipun.

“Baiklah, kawan. Tahukah kau, dulu ketika si mbokku memberi nama, yang dia tahu hanya berpatokan pada perhitungan Jawa. Karena aku lahir pada hari Jumat, maka namaku harus diawali dengan huruf pertama namaku itu. Juga, lantaran aku lahir pada hari Jumat Legi, maka si mbok-ku percaya namaku harus berjumlah lima huruf, yang melambangkan Legi dalam perhitungan Jawa itu. Jika si mbok-ku tak mematuhi perhitungan Jawa itu, bisa celakalah aku di kemudian hari. Begitulah saat itu si mbok-ku dan para tetua kampungku percaya. Maka jadilah namaku Karto. Lahir Jumat Legi,” tutur Karto, sedikit bersungut.

“Jika saja si-mbokku berpendidikan, maka bisa jadi dia akan sedikit melek, melihat dunia. Bahwa era 1970-an dan era 1980-an Indonesia sudahlah membangun, pendidikan juga mulai maju. Siapapun berhak mengenyam, tak seperti jaman penjajahan dulu, penghuni lembaga pendidikan adalah makhluk dari langit, berdarah biru, manusia terpilih. Termasuk para priyayi Jawa itu.”

“Dan, si mbokku jika berpendidikan akan bisa melihat dunia, bahwa dunia sudah berubah sejak puluhan tahun lampau. Hmmm, tapi dia tetap ada dalam gelap gulita. Maka, jadilah aku seperti tetap di jaman feodal Jawa. Si mbokku sungkan memberi nama yang bagus-bagus, risih katanya, jika memberi nama bagus pada anak dari keturunan rakyat jelata. Malah bisa jadi ditertawakan orang sekampung,” Karto, panjang lebar.

“Betul memang satu dasa warsa setelah aku lahir, nama bayi di daerahku di tubir Cisanggarung sana sudah mulai berubah, mengikuti pola modernisasi. Mulai ada kesamaan strata kelas. Maka, seorang buruh tani pun bisa memberi nama yang sederajat dengan yang berpendidikan. Seperti misalnya Rahmat Darmawan. Itu aku tahu, pada jamanku dia pasti akan bernama Wawan saja.”

“Tak apa, jaman memang bergerak. Memasuki decade 1990-an, orang-orang sekampungku sudah mulai merantau ke Jakarta, meski hanya sekadar berdagang asongan, atau hanya sekadar menjadi kuli bangunan. Tapi dari sana membawa budaya modern, meski norak. Satu pengaruhnya, nama bayi menjadi ke kota-kotaan. Pengaruh feudal seperti di jamanku mulai pudar,” papar Karto.

“Nah, kau kan sekarang sudah bisa sederajat dan punya kesempatan banyak untuk sejajar dengan para keturunan ningrat itu, kenapa namanya tidak ditambah mengikuti mereka dan arus modern? Bukankah kau sudah berhak? Bukankah itu juga bisa meningkatkan gengsimu,” kataku, lagi.
Kali ini Karto sedikit membelalakan matanya. Aku sedikit ciut. “Tahu kau, kawan. Kau adalah orang yang kesekian yang selalu mengusik-ngusik namaku,” Karto terdiam sebentar. Kemudian menarik nafas panjang. Ada nada dendam dalam ucapannya.

“Tak mengikuti arus pasar, berarti ikut menolak ideologi pasar itu sendiri. Bukan begitu, kawan,” katanya. Matanya sedikit memelototi aku. Aku rada terkesiap. Barangkali dia sudah benar-benar tersinggung.

Tapi jujur aku tak terlalu mengerti apa arti perkataannya. “Maksudnya bagaimana Karto,” kataku.

“Kawan, aku tahu. Sekarang ini, jaman modern, jaman ideologi pasar. Agar bisa bertahan hidup di tengah persaingan pasar yang sangat sengit, orang harus punya kemampuan dan skill tinggi. Juga harus punya gengsi tinggi. Dia harus profesional. Karena dengan demikian, dari hasil profesionalitasnya itu, dia akan menghasilkan karya yang bisa dijual.

Orang harus mengikuti keinginan pasar agar tetap diminati pasar itu sendiri,” katanya. Karto sudah mulai ngelantur, pikirku. Tapi kudengarkan juga lanjutan omongannya.

“Kini sudahlah lazim, perusahaan-perusahaan besar menggunakan tenaga-tenaga ahli dari luar negeri. Bukan karena kemampuannya, tapi karena gengsinya. Kalaupun dia menggunakan tenaga lokal, maka sebisa mungkin yang berasal dari lulusan luar negeri. Setidaknya tahu seluk beluk luar negeri. Karena kini dunia sudah jadi kampung global,” katanya.

“Maka agar terkesan sangat tahu seluk beluk luar negeri, manusia jaman kiwari akan menggunakan nama kebarat-baratan. Sekali lagi agar terkesan modern. Tak terkecuali dalam memberikan penamaan. Maka orang lokal sekarang lebih suka menggunakan nama Michael dan Sebastian ketimbang Sunarto atau Ahmad. Dua nama terakhir itu akan terkesan sangat terbelakang dan tak berperadaban. Maka, dengan demikian perusahaan-perusahaan besar akan merekrut orang dengan nama-nama yang bagus-bagus. Sekali lagi itu demi gengsi. Yang buruk dan sangat lokal, mohon maaf, menyingkir dulu,” paparan Karto terhenti sejenak.

“Mungkin itu cuma pikiranmu saja, Karto,” aku menyela.

“Tidak, kau harus membuka mata. Orang jaman sekarang akan heran jika namamu hanya satu kata saja, seperti aku. Tanpa nama belakang, juga tanpa marga. Sebagian orang akan menganggap dengan satu nama saja, kau sangat kelihatan udik, sangat lokal. Dan kau harus merasakan, pertanyaan soal kenapa namamu hanya satu kata saja tanpa nama belakang, akan menjadi tudingan bahwa kau berasal dari kasta rendah, kasta abangan, bukan santri dan juga bukan priyayi. Tahu, kau,” Karto makin galak. Nyaliku menciut. Aku diam. Dia sudah benar-benar tersinggung. Malam sudah larut. Di pinggir kota tua itu, suara belalang tersengal-sengal. Hembusan angin makin menusuk-nusuk.

****
******

“Kak, gimana kalau nama Akmal, dari bahasa Timur Tengah, artinya sempurna, sangat pandai,” Karto kembali mengirim SMS ke Kus, setelah sedikit utak-atik computer. Sejenak kemudian, balasan muncul. “Lumayan bagus, coba cari yang lainnya,” Kus membalas.

Karto kembali mengorek-ngorek deretan nama-nama bayi di tumpukan tulisan mbah google. “Gimana kalau digabung menjadi Akmal Tristan Nadian, Akmal artinya sempurna, sangat pandai, Tristan dari bahasa Wales, Inggris Utara, artinya gagah berani, dan Nadian adalah singkatan dari nama kakak dan istri,” Karto kembali membalas, sejam kemudian.

Sejenak tak ada jawaban. Karto mencoba menawarkan nama lain. “Gimana kalau Farrel Yanuardi Tristan Nadian, Farrel artinya heroik dari bahasa Irlandia, Yanuardi artinya lahir pada Januari, Tristan Nadian seperti arti dalam SMS sebelumnya. Naman ini juga bisa mengantisipasi era globalisasi di masa datang,” pesan singkat Karto kemudia meluncur.

Huppp…Mengantisipias era globalisasi? Apa hubungan nama dnegan era globalisasi? Aku tak mengerti sekarang jalan pikiran Karto. Dia sudah mulai tak kupahami jalan fikirannya. Atau aku yang terlalu naïf, pendek daya jangkau fikirnya. Entahlah.

“Nanti saya pilih,” jawaban pesan singkat Kus mampir, pendek.

Dua hari berselang, Kus tak jua membalas SMS Karto. Sampai menjelang tengah malam, SMS Kus mampir ke Karto. “Mungkin namanya Akmal Grammarian Abdillah,” katanya. Karto yang masih terjaga mencoba membalas,” Itu sudah bagus, Anak pandai nan sempurna, semoga menjadi Hamba Allah yang pandai berbahasa Inggris dnegan grammar yang baik,” katanya. “Mentang-mentang jadi guru Bahasa Inggris,” kata Karto kepadaku esoknya.

“Jadi, apa namanu mau diubah juga Karto?” tanyaku kembali, mengingat percakapan sore menjelang malam waktu itu. Karto kembali membelalakan mata. “Biarlah, aku akan tetap memakai nama ini, meski terkesan ndeso, udik, kelas rendah di Jawa, tak apa. Biar aku selalu mengingat dari mana aku berasal. Bukan kacang yang lupa akan kulitnya. Panggil aku Karto saja,” ujar Karto. Aku terdiam.


* Terinspirasi dari judul “Panggil Aku Kartini Saja” karya Pramoedya Ananta Toer
Baca Saterasna...

Senin, 03 Agustus 2009

"Ibu"

By : Danto

Di ujung telepon, suaranya terdengar sedikit terbata. “Ibu kehabisan uang, le,” katanya, kepada Karto menjelang malam itu, dengan isak yang tertahan. Dug. Jantung Karto seperti terasa copot. Sudah berapa lama dia tak menghubungi ibu di kampung? Satu minggu, dua minggu, atau satu bulan lebih?

Masya Allah, Karto tak menghubungi bapak dan ibu di tepian gawir Cisanggarung sana selama sebulan lebih. Apa saja gerangan yang telah dia perbuat di Jakarta? Teledor nian kau, Karto. Hingga tak sempat memikirkan mereka.

“Kamu tak usah terganggu dengan omongan ibu soal duit itu, ibu cuma ingin mendengar suaramu saja. Sungguh kangen ibu padamu, le,” katanya, sedikit tersedu. Karto terdiam. Seperti terpengaruh pada omongan pertama ibu tadi: kehabisan duit.

Saat malam baru beranjak turun itu, sengaja Karto menelepon ibu di kampung melalui telepon genggam adik bungsunya. Adik terakhirnya itu kini duduk di bangku kelas satu SMU, di kota kecamatan.

Adiknya dua. Yang pertama kini menclok jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di sebuah departemen yang lumayan punya nama dan berpengaruh, baru masuk awal 2009 ini. Setahun lalu, Karto berbaik hati membelikan adik bungsu dan ibu bapak sebuah telepon genggam seken, sekadar untuk say halo dan nanya kabar. Barang seminggu dua.

Kebetulan, setahun setelah pindah kerja ke tempat baru, Karto bisa sedikit-sedikit menabung. Sisihan tabungan, sebagian istrinya menyimpan untuk tabungan keluarga. Sedikit lainnya dia sisihkan untuk bapak ibu, zakat, dan cadangan ibu bapak mertuanya.

Sebelum adik pertamanya masih kuliah dan menjadi PNS, Karto harus membagi sisa tabungan untuk kebutuhan sang adik, juga sesekali mengirimkannya pada ibu.

Sementara uang untuk telepon genggam adik terakhirnya adalah sisihan dari sisa uang bensin selama sebulan sebulan, setelah tak lagi menanggung beban harus membiayai adik pertama. Jadilah uang tabungan itu dia belikan mereka sebuah telepon genggam seken. Pulsanya sebulan sekali dia transfer, cuma secuil saja: Rp 25.000. Karto bilang pada adik terakhir, gunakan pulsa seirit mungkin, “Kalau ada perlu sama kakak, biar kakak telepon dari Jakarta,” kata Karto, ketika menyerahkan telepon genggam seken itu, setahun silam.

*****
*****

Biar kuceritakan sedikit. Aku mengenal keluarga Karto adalah keluarga harmonis. Biar dulu mereka serba kekurangan, kini terlihat cukup sudah, untuk ukuran kampung, tentu saja. Itu penglihatan kasat mataku. Aku mengenal keluarga ini, terutama Karto, yang sejak kecil berteman dengan ku.

Banyak hikmah dan pelajaran kuambil dari kisah hidup mereka. Kisah tentang perjuangan, tentang kemiskinan, tentang ketidaktahuan, tentang kejujuran, tentang tekad baja, tentang kekompakan, juga tentang kebahagiaan.

Karto adalah anak kedua dari empat bersaudara. Bapak dan ibunya adalah buruh tani di tubir Cisanggarung, daerah yang membentang antara Gunung Ciremai di Jawa Barat, dan Gunung Slamet di Jawa Tengah. Mereka punya lahan sawah yang kalo dihitung paling cuma beberapa petak saja, mungkin mendekati satu bau – satu bau sama dengan 0,7 hektare--, barangkali tak lebih dari setengah hektare.

Itupun sawah warisan. Hanya cukup untuk makan. Sisa kebutuhan untuk hidup, bapak Karto harus menjadi kuli di sawah tetangga. Atau sesekali ke Jakarta menjadi kuli bangunan. Tapi itu dulu, sekarang tidak.

Dua puluh tahun lalu, sementara bapaknya rutin ke sawah atau merantau ke Jakarta, ibunya harus ke sana kemari, ke rentenir satu dan ke tuan tanah lain. Pinjam duit. Kakak pertama Karto, Kus, ketika itu masih Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di kota kabupaten. SPG adalah tujuan sekolah paling ideal untuk keluarga tak berpunya, seperti Karto.

Itupun tak gampang. Sebab, ada saja cibiran dari para tetangga Karto. Buat apa sekolah, sementara biaya tak ada, harus ngutang sana-sini. Mimpi kali ye. Tak ada trah atau darah jadi orang gedean. Cacah kuricakan (kelas terendah masyarakat) ya tetap cacah kuricakan saja. Tak usah bermimpi jadi orang gedean.

“Pasti tak akan jadi orang,” begitu cibiran yang masih saja aku, juga Karto, dengar hingga kini, dari mereka, dari para tetangga itu. Ibunya tak peduli. Harapan besar menjadikan anak-anak bernasib lebih baik ketimbang dia.

Maka, ketika mendengar selentingan Kus mengamen di jalanan kota kabupaten untuk membayar uang kos-kosan yang mepet, suatu malam, ibu menangis sejadi-jadinya. Tak rela, rupanya. Entah itu kabar burung dari siapa. Mungkin ada tetangga yang melihat Kus memang benar suka mengamen untuk sekadar nambah uang makan, usai pulang sekolah.

Sekolah di daerah Karto adalah barang mahal. Tak sembarang orang bisa sekolah hingga SPG, ketika itu. Nyatanya, “Tuhan Maha Adil,” kata ibu Karto, ketika Kus akhirnya lulus dari SPG.

Tapi, sampai di situ pun sengsara belum juga berbuah nikmat. Pada 1991, ketika Kus tamat dari SPG itu, kebijakan baru pemerintah tak memungkinkan lulusan SPG menjadi langsung seorang guru. Semua harus melewati bangku kuliah. Apa mau dikata. Jika tak melanjutkan kuliah, maka sia-sia saja sekolah di SPG. Tak akan bisa menjadi guru. Cita-cita yang Kus, juga Karto, idam-idamkan sejak kecil.

Jika ada dua orang temannya dari tetangga kampung Karto memilih tak melanjutkan kuliah, Kus nekad. Modal tak ada, uang pun tipis, Kus merantau ke Jakarta, usai lulus dari SPG itu. Benar-benar mengadu nasib.

Modalnya cuma kenalan yang bekerja di sebuah proyek bangunan di Jakarta. Iseng-iseng ikut Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Ndilallah keterima. Dia terjaring di Jurusan Bahasa Inggris sebuah perguruan tinggi negeri yang meluluskan para guru di Jakarta.

Gembira, sekaligus bingung. Jika diambil, maka akan sangat pusing tujuh keliling dengan biaya. Dasar bondo nekad, Kus memutuskan untuk kuliah. Tak ada cerita, juga tak ada bilang ke ibu bapak. Benar-benar nekad. Sendiri.

Ada gunanya juga punya teman bekerja di proyek bangunan. Maka Kus nekad melamar menjadi tenaga kebersihan di proyek itu. Entah karena kasihan, atau memang sedang butuh, mandor proyek yang juga tetangga di kampung itu menerima Kus. Jadilah Kus bekerja menjadi tenaga kebersihan proyek. Pagi kuliah, sorenya bekerja di antara debu-debu bangunan.

Pekerjaan di proyek sedikit membantu keuangan. Cuma itu tak terlalu menutupi kebutuhan kuliah. Maka, setelah beberapa bulan kuliah, Kus memutuskan pulang kampong mengadu ke ibu: kehabisan duit. Pusing tujuh keliling nian ibu bapak Karto saat itu. Maka, ibu memutuskan pinjam ke seorang rentenir. Bunganya sangat mencekik: 50% setahun.

Apa daya. Pinjaman kemudian mengucur, esoknya, meski cuma cukup untuk bayar uang semesteran. Jumlahnya Rp 200.000. Sisa untuk kebutuhan makan, cari sendiri di proyek bangunan.

Soal bayar ke rentenir, bisa dicicil tiap bulan dari hasil panen padi atau palawija. “Ibu cuma sanggup memberi segini,” kata ibu Karto, dengan suara dalam, ketika itu. Kus menerima, sambil tertunduk, mungkin merasa bersalah sudah merepotkan, lantas kembali ke Jakarta.

Kehidupan prihatin membawa Kus punya tekad baja. Harus lulus, meski tersendat. Singkat cerita, Kus sukses lulus sarjana dari perguruan tinggi negeri itu, tujuh tahun berselang. Dia terbilang lama kuliah, karena sekali dua mengambil jatah cuti, hanya untuk sekadar mengumpulkan tambahan biaya.

Selama itu, dia beberapa kali pindah kerja di proyek, dagang sepatu, menjajakan pakaian, dan mengajar privat Bahasa Inggris. Sementara di rumah sana, bapak dan ibu Karto sudah menghabiskan sawah setengah bau, separuh dari yang ada, untuk membayar uang semesteran Kus. Juga sesekali bekal makan di Jakarta.

Itu sudah termasuk sangat ngirit. Salah satu tetangga, yang juga menguliahkan anaknya, habis dua bau, taksirannya sekitar satu setengah hektare sawah. Modal orang kampong, petani, tak punya gaji, hanya sawah jika mau menyekolahkan anak hingga ke bangku kuliah. Tak ada lain.

Selepas lulus kuliah, Kus agaknya tak tahan hidup di Jakarta. Penghasilan seorang guru di Jakarta seperti menjepit kebutuhan. Maka, dua tahun berselang, Kus memutuskan kembali ke kampung. Mencoba mengadu nasib, daftar calon PNS.

Dasar nasib lagi baik, tahun itu juga Kus langsung diterima menjadi PNS. Setahun setelah jaman reformasi, satu tahun setelah pergantian kekuasaan Orde Baru, sogok menyogok, dan suap menyuap seperti hilang ditelan bumi. Tak seperti sebelumnya. Maka, Kus ketiban berkah jaman.

Dia masuk PNS dengan hasil tes murni. Tak secuil uang sogok pun dia keluarkan. Jika pun jaman masih seperti dulu, harus ada praktek-praktek cula, harus mencari uang dari mana jika harus membayar jabatan guru PNS itu? Lebih baik mundur dan berkarir jadi guru honorer, barangkali.

Kus kemudian mengajar di SMP di ibukota kecamatan. Setahun berselang, Kus lantas menikah dengan tetangga, yang baru lulus dari Akademi Kebidanan. Harus mencari jodoh sepadan, barangkali. Istrinya praktek di pinggiran kota di seberang Cisanggarung. Mereka kemudian menganyam hidup. Kini sudah punya dua anak. Punya pekarangan luas, dua sepeda motor, juga sebuah kendaraan roda empat.

****
****

Tiga tahun menjelang Kus lulus, Karto masuk SMU. Letaknya di ibukota kecamatan, sekolah yang sama dengan dua adiknya. Tadinya ibu sudah berkebaratan Karto melanjutkan SMU. “Lebih baik kamu kerja seperti orang-orang sekampung ini saja, merantau ke Jakarta, kerja di proyek-proyek bangunan, dapat uang,” kata ibu kepada Karto, suatu sore.

Karto mendongak. Nilai Ebtanas Murni (NEM) Karto terbesar kedua di SMP. Saat itu murid SMP ada sekitar 146 siswa. “Mana mungkin aku berhenti begitu saja,” kata Karto, membela diri.

Karto sepertinya mewarisi sifat ibu, yang juga turun ke Kus: keras kepala dan memegang prinsip. Itu pandanganku, yang ada di luar keluarga mereka. Karto keukeuh ingin melanjutkan ke SMU. Maka menjelang pembukaan murid baru, beberapa hari selepas lulus SMP, Karto ke sana ke mari mendaftarkan diri ke SMU, tujuh kilometer jauhnya dari rumah.

Lantaran sepeda pun tak punya, Karto terpaksa bolak-balik meminjam sepeda ke uwa –sebutan untuk kakak ibu atau bapak—dari bapak. Singkat kata, Karto tak susah masuk ke SMU di ibukota kecamatan.

Sampai sini Karto sumringah, sekaligus bimbang. Darimana uang untuk membayar SPP per bulan, atau uang bangunan, yang jumlahnya bisa untuk membeli dua kwintal padi itu? Sarana transportasi pun belum ada, sepeda pun tak punya. Sementara uang ibu bapak tersedot untuk mambantu biaya Kus yang sedang genting-gentingnya kuliah.

Sisi lain, ibu ingin memperbaiki rumah yang sudah bocor di sana-sini. Rumah joglo tua itu memang sudah saatnya dibongkar. Apalagi, ketika itu di kampung sedang tren membangun rumah, membongkar rumah joglo menjadi sedikit modern. Tren itu muncul setelah orang-orang sekampung Karto rame-rame mengadu nasib ke Jakarta. Ada yang jadi kuli bangunan, berdagang asongan, atau membuka warung makan.

Tak hilang akal, setelah pengumuman Karto diterima SMU itu keluar, Karto nekad juga ke Jakarta. Dia ikut seorang teman yang menjadi kenek tukang bangunan di bilangan Ciracas, Jakarta Timur. Karto juga menjadi kenek bangunan. Dia masih ingat betul, ketika itu ikut membangun rumah susun untuk polisi di Ciracas tersebut.

Tiga pekan lamanya di sana. Dengan gaji Rp 7.500 per hari, Karto bisa menggembol uang Rp 100.000, setelah dikurangi uang makan. Dia makan seirit mungkin agar bisa membawa uang untuk bayar uang bangunan, kalo bisa sedikit memberi buat ibu.
Alangkah bahagianya jika bisa turut memberi secuil uang itu untuk ibu, meski cuma untuk beli lauk yang lebih baik ketimbang makanan sehari-hari, yang cuma ikan asin atau tempe itu.

Uang segitu ternyata sangat berharga bagi Karto. Separuhnya untuk mencicil uang bangunan sekolah. Sedikit juga untuk memberi ibu, meski ibu rada menolaknya. Sebagian kecil lagi untuk membeli sepeda seken. Saat itu angkutan ke kota kecamatan belum ada. Yang ada cuma dokar bertenaga kuda.

Menjelang masuk SMU itu, Karto harus keliling dari bengkel sepeda yang satu ke bengkel sepeda lain di kampung. Mana tahu ada sepeda seken yang bisa untuk kendaraan sekolah. Syukurlah, di sebuah bengkel di ujung desa, ada seonggok sepeda bekas, dengan ban sudah belel, dan rantainya yang berkarat. Tak pikir panjang, Karto membelinya. Harganya Rp 35.000. Uangnya dari sisa kuli di Jakarta. Dia sedikit lega. Satu soal sudah teratasi.

Maka, mulailah Karto sekolah. Tiap hari menggoes sepeda baru yang tua itu, ke sekolah. Berkali-kali, dia harus membenarkan tali rantai sepeda yang kerap lepas, di jalanan menuju sekolah. Sementara teman-teman lain, saling dahulu mendahului. Ada yang memakai sepeda baru, beberapa juga mengendarai sepeda motor. Karto cuma penyendiri. Lebih jarang bergaul dengan teman sekolah. “Aku tak mau merepotkan orang lain,” katanya, kepadaku suatu sore.

Sehabis pulang sekolah, Karto harus pergi ke ladang untuk sekadar cari rumput buat kambing-kambingnya. Bapak memelihara beberapa ekor kambing hanya sekadar untuk tambalan kebutuhan hidup. Syukur-syukur bisa untuk menambal biaya sekolah.

Banyak manfaatnya juga Karto hidup prihatin. Teman-temannya yang sesama penggembala kambing, bukan anak-anak muda yang suka foya-foya, membawa Karto hidup sederhana. Betapa uang jajan seorang anak SMU lain sangat tak sebanding dengan uang jajan Karto.

Pada medio 1990-an itu, Karto hanya menggenggam Rp 200 per hari untuk sekadar uang jajan ke sekolah. Saat itu, harga sebuah bala-bala – di daerah lain disebut bakwan—sudah Rp 100 per buah. Sementara seporsi piring nasi plus bumbu kuah sudah Rp 500. Jadi, Karto harus menabung hingga seminggu lamanya agar bisa sekali makan di kantin sekolah.

Itupun jika sepeda tuanya tak mengalami rusak, seperti putus rantai dan ban meletus. Untunglah, Karto sudah terbiasa puasa Senen Kamis. Jadi, tak soal jika tak bisa jajan di kantin.

Sifat penyendiri membuat Karto tak biasa menggantungkan apapun pada orang lain. Termasuk soal belajar. Kebetulan, Karto terbilang menonjol di antara teman-temannya. Kelas satu SMU, dengan system catur wulan, Karto dua kali jadi juara satu, dan sekali juara dua. Maka, memasuki kelas dua, Karto mendapat beasiswa. Uangnya Rp 60.000 per bulan. Atau sekitar Rp 720.000 setahun.

Jumlah yang luar biasa besar bagi Karto. Meski cara pengambilannya dicicil di kantor pos, uang bea siswa itu terasa sangat membantu. Maka, Karto membelikan satu set kursi sudut lumayan empuk –ketika sedang tren—seharga Rp 700.000. Saat ini kursi-kursi itu masih terderet rapi di ruang tamu rumah ibu, tak jauh dari tubir Cisanggarung.

Liburan sekolah tahun kedua, Karto tak mau menyia-nyiakannya. Dia kembali ikut seorang teman yang bapaknya mandor bangunan. Dia kembali menjadi kuli bangunan. Dia ikut membangun gedung baru pabrik perakitan motor Suzuki, di Tambun, Bekasi. Gajinya lebih naik sedikit ketimbang setahun sebelumnya: Rp 10.000 per hari.

Tapi dia cuma bekerja selama 12 hari saja. Sang mandor, bapaknya teman Karto, kemudian memulangkan beberapa tenaga kerja kuli. Alasannya: bangunan pabrik sudah hampir selesai, sehingga harus ada pengurangan tenaga kerja. Karto tak bisa berbuat apa-apa. Padahal sisa liburan masih setengah bulan lagi.

Uang hasil kerja itupun lumayan buat melunasi uang gedung yang masih tersisa separuhnya: Rp 50.000. Sisanya buat ngasih ibu dan sedikit tabungan.

Singkat cerita: Karto bisa lulus SMU setelah setahun kemudian mendapat bea siswa kembali. Jumlah Nilai Ebtanas Murni (NEM)-nya ketiga tertinggi dari 142 siswa SMU.
Ketika itu, Kus, kakak Karto sudah lulus kuliah dan mengajar di salah satu SMK di Jakarta. Karto memberanikan ikut UMPTN. Ndilallah nasib kembali berpihak. Dia masuk di sebuah perguruan tinggi negeri, tempat Kus sebelumnya kuliah. Dia mengambil jurusan Ekonomi. Lulus dalam empat tahun saja.

Selama itu, Karto menambah-nambah uang makan dari mengajar privat. Sebab, jatah dari Kus dan ibu sangat tidak cukup untuk biaya hidup di Jakarta yang sudah menjulang. Karto tak menghabiskan sepetak pun sawah di kampung yang tersisa tinggal setengah bau saja.

Setelah dinyatakan lulus, Karto iseng-iseng melamar dengan surat kelulusan pada sebuah penerbitan di Jakarta. Padahal, jurusannya sangat tidak masuk untuk kategori pekerjaan itu. Sebab, seharusnya dia menjadi guru seperti Kus. Itu adalah lamaran pertama Karto. Nasib lagi-lagi berpihak. Dia diterima, setelah menjalani serangkaian tes. Mulai psikotes, wawancara, dan sebagainya. Kini, aku mengenalnya sebagai juru warta.

Punya istri yang dulu teman seangkatan di sekolahnya. Yang ketika sekolah sama sekali tak pernah say helo, misalnya, karena memang Karto minder untuk sekadar kenal saja. Dia cantik, hitam manis ala wanita Jawa. Ketika sekolah, istrinya adalah buruan banyak teman-teman lelaki Karto. Meski sudah mengagumi sejak SMU, Karto tak pernah berniat mendekat. Sebabnya, dia sudah merasa kalah sebelum berlaga.
Kini, Karto sudah punya satu anak dari dia. Punya rumah lewat cicilan BTN di luar Jakarta.

****
****

“Karto, sudah sebulan lebih ibu tak meneleponmu, kangen sekali rasanya,” kata ibu, di ujung telepon, mengulang lagi. “Apa kabar istri dan anakmu,” sambungnya.
“Aku baik-baik saja, bu,” jawab Karto, dengan logat Sunda pinggiran yang kental. “Maaf, ibu, aku belum sempat kirim uang, pekerjaanku padat sekali,” kata Karto.

“Sudahlah, tak usah dipikirkan, biar ibu sama bapak menjual padi saja,” kata ibu.
“Tidak, bu, akan segera saya kirim,” sergah Karto.

“Tidak usah, Nak. Ibu tahu, kebutuhanmu sudah sangat banyak. Kemarin ibu memang sempat ke rumah kakakmu di seberang Cisanggarung sana. Untuk sekadar pinjam uang. Ibu naik angkot sendiri ke sana. Cuma dia sekarang sepertinya sedang banyak kebutuhan juga. Dia bilang, saya kan sudah banyak bantu. Nanti kalo Uban pulang dari Jakarta, ingatkan dia untuk mulang tarima,” kata ibu, menirukan Kus, rada terisak.

Mulang tarima adalah istilah balas budi di daerah Karto. Uban adalah adik pertama Karto yang baru saja menjadi PNS di departemen tadi.

“Cuma ibu bilang, biar saja Uban fokus kerja dulu, jangan direcoki oleh permintaan-permintaan. Memang Kus, kakakmu itu, ketika Uban masih kuliah sesekali memberi uang, hitung-hitung mulang tarima ke ibu, tapi kan yang nanggung biaya kuliah Uban kamu, Karto. Ibu kini merasa bersalah telah merepotkan kalian-kalian,” suara ibu di ujung telepon agak memelan, terdengar terbata. Lamat-lamat malah terisak.

“Ibu tahu, tak bagus membandingkan pemberian dari anak satu dengan anak lainnya. Ibu tak berharap itu, dengan melihat kalian bahagia saja, ibu sudah sangat senang, le,” kata ibu lagi. Sejenak terdiam. Karto pun terus termangu.

“Sudahlah, Bu, kebutuhan Ibu biar saya tanggung,” kata Karto. Bukan niat menjadi pahlawan, kata Karto kepadaku pada lain kesempatan soal omongannya itu. Tapi apa salahnya jika aku bersyukur, kata Karto lagi. Sekarang tanggunganku si Uban udah mulai punya pegangan hidup. Tinggal adik bungsu yang kini di SMU kelas satu.

Benar juga pikirku. Selama ini, Karto hanya sesekali saja kirim uang kepada ibu. Hasil sisihan tabungan sisa uang makan dari kantor. Juga sisa dari jatah Uban kuliah. Karto hingga kini masih saja sederhana. Makan cukup dengan tempe, tahu, ikan asin, telur dadar, sesekali daging ayam. Bahkan, Karto lebih sering membawa bekal makanan dari rumah ke kantor, bekal dari istrinya. Tidak lain agar lebih menghemat pengeluaran. Syukur-syukur bisa menyisakan uang untuk ibu.

Biar Karto menjanjikan akan selalu mengirim uang ke Ibu, kepada ku Karto bilang, jujur ketika mengatakan itu dia punya beban. Sebab, setiap kali Karto harus mengirim uang ke ibu, maka dia seperti punya utang kepada mertua, katanya. Meski secara materi, mertua Karto terbilang lebih, dan memang terpandang di daerah tubir Cisanggarung.

Karto ingin berbuat adil, katanya. Setiap kali mengirim uang ke ibu, Karto ingin juga mengirim kepada mertua. Itu artinya, beban makin bertambah. “Tak enak aku sama istriku setiap kali berniat mengirim uang ke ibu, aku seperti punya utang,” kata Karto, kepadaku. Aku sangat memahami posisi Karto. Dia sekarang punya banyak kebutuhan. Setelah Uban punya kerjaan tetap, Karto berniat pindah rumah.

Rumahnya saat ini terasa sangat jauh jaraknya dari tempat kerja: 47 kilometer sekali perjalanan. Maka, sehari dia bisa menempuh hampir 100 kilometer. Inilah yang mungkin dipahami ibu.

“Ibu tak usah dipikirkan, Karto. Ibu tahu kamu banyak kebutuhan,” kata ibu, sekali mengulang di ujung telepon. Karto terdiam. “Ibu, bapak, aku ingin mengangkat derajat kalian,” tak kuasa Karto mengucapkan kalimat itu. Dia hanya mampu membisikannya ke telinga ku, beberapa hari kemudian. “Ibu, doakan Karto, bu,” di ujung telepon Karto berharap.
Baca Saterasna...

"Pegadungan (Desa Yang Hilang)"

Konon menurut cerita engkong2 pada zaman dulu ada sebuah desa yang hilang, desa pegadungan namanya. Desa tersebut terletak di sebelah selatan desa cikakak kurang lebih 5 km dan beberapa meter dari "lebak jeruk". menurut cerita Desa pagadungan hilang pada masa penjajahan zaman belanda doeloe...

Saat terjadi pembantaian di 3 Daerah yaitu Tegal, Pekalongan dan Brebes. Nah yang di brebes tepatnya di banjarharo....sebagian masyarakatnya lari ke gunung untuk menghindari serangan dari belanda terkecuali masyarakat di desa pagadungan. sesepuh di desa ini konon ilmu-nya sangat tinggi....dan untuk melindungi masyarakatnya dari belanda ia melakukannya dgn cara menabur sesuatu (ga tau apaan) di sekeliling desa tsb, agar tidak terlihat oleh belanda alias tidak kasat mata. dan cerita selanjutnya, setelah ia melakukan sesuatu untuk melindungi masyarakatnya, ia ikut serta melawan belanda. celakanya sesepuh ini wafat dalam perang, alhasil tidak ada yang bisa mengembalikan desa trsbut seperti semula. sampai saat ini tidak ada yang bisa melihat desa tersebut.

Ternyata yang di tabur oleh sesepuh itu adalah abu dan abu ini di tabur di tanah membentuk lingkaran. sang sesepuh tidak menyisakan tanah yang tanpa abu sebagai pintu atau jalan keluar dari desa itu, maka dr itu warganya tidak bisa keluar dari desa pagadungan. Tapi menurut cerita setiap prepegan mereka baru bisa keluar dan bagi yang memperhatikan betul2 mereka akan terlihat di pasar banjarharjo dg penampilan seperti orang zaman dulu ( gmn mo perhatiin, lempang ge hese neangan jalan kubaning sesek). dan ada juga kesaksian dari para pedagang, mereka kaget setelah sampai rumah, karna dari uang hasil dagangannya sebagian adalah uang koin zadul ( Zaman dulu ) padahal mereka yakin semua pembeli memberikan uang kertas ( duit zaman ayeuna ). Dua orang di desa saya pernah tersesat sampai ke desa pagadungan, waktunya berbeda dgn kejadian yg sama. Keduanya sama2 lg mencari kayu bakar dan pulang sarepna. Pas adzan subuh, mereka baru sadar dan ternyata mereka ada di desa cikakak tepatnya di bawah jembatan cikakak yg beberapa tahun lalu roboh kena banjir. Maka dari itu ada yang bilang desa ini desa yang hilang-lah, desa kutukan-lah, dan ada juga yang bilang desa ini desa siluman.

* dari berbagai sumber

Baca Saterasna...

"Asal Mula Cikakak"

by : Danto

Konon, nama Cikakak berasal dari dua suku kata: Cai dan Cangkakak. Cai adalah bahasa Sunda untuk air. Sementara Cangkakak adalah nama jenis burung sejenis kakatua alias ekek. Bedanya, suara burung cangkakak persis seperti namanya: kakakakakakakak....kakakakakakak...Burung ini lebih banyak beredar di kala senja alias menjelang malam.

Syahdan, Cikakak dahulu adalah sarang dari burung-burung yang kini sudah hampir punah tersebut. Saking banyaknya, suatu ketika, ada banjir bandang menghumbalang tanah leluhur ini. Saat itu, sarang segerombolan beribu-ribu cangkakak tiba-tiba tersapu "tsunami" itu. Walhasil, sarang dan ribuan burung cangkakak itu musnah dan menyisakan sisa cai dan bekas tempat cangkakak.

Itulah sebabnya, kawasan tersebut dinamakan Cai Cangkakak, yang singkatannya menjadi Cikakak. Benar atau tidak cerita ini, Wallahu'alam bissawab. Percaya atau tidak, dikembalikan ke Anda. Ini sekelumit pendek tentang mitos Cikakak.
Baca Saterasna...

"MY CITY (CIKAKAK, BANJARHARJO, BREBES)"

by : Cah Kangkung

Cikakak adalah nama desa yang cukup kesohor, yang terletak di bagian barat kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Terletak sekitar 50 km dari Cirebon kearah timur dan sekitar 40 km dari Brebes kearah barat. atau sekitar 25 km dari Tanjung (pertengahan antara Cirebon - Brebes) kearah selatan memutar ke barat.

Sebagai desa yang terletak diwilayah transisi atau perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, masyarakat desa Cikakak hidup dalam dua budaya yang berbeda, yaitu jawa dan sunda. Sebagian besar komunitas masyarakatnya merupakan etnis sunda, dengan budaya sunda yang kental dan bahasa sunda sebagai bahasa komunikasi sehari-hari, meskipun dialeknya berbeda dengan bahasa sunda pituin (Parahiangan). Meskipun ndeso, masyarakat desa ini masuk dalam kategori melek informasi yang cukup tinggi.

Sejarah awal penampakan desa ini tidak diketahui secara masif dengan tidak ditemukannya sumber tertulis yang pasti. Mata pencaharian pokok penduduknya adalah bertani, berdagang dan sebagian pekerja rantau musiman.

Provinsi Jawa Tengah
Kabupaten : Brebes
Kecamatan : Banjarharjo
Kepala desa : Dria Wahana (2007 - 2013)
Luas : sekitar 150 ha
Jumlah penduduk : sekitar 7.500 jiwa
- Kepadatan : 50 jiwa / ha

* dari berbagai sumber


Baca Saterasna...

Cikakak, Banjarharjo, Brebes